Kamis, 30 Oktober 2014



SIAPA BATHARA LOWANO ?
          Bathara, sebuah sebutan gelar yang disematkan oleh masyarakat Jawa Kuno kepada seseorang yang dianggap linuwih, mumpuni dan ngayomi sekaligus berkuasa, sebutan ini kadang melekat begitu saja tanpa ada sebuah ritual-ritual ceremony tertentu seperti penganugerahan gelar pada acara-acara kenegaraan atau pemberian gelar kekancingan dari sebuah keraton. Namun gelar ini akan hidup dan terus dikenang oleh masyarakat yang meyakini akan kemampuan seseorang yang pernah hidup di lingkungannya dan tidak lepas dari pergantian jaman ke jaman.
          Oleh masyarakat Desa Loano dan sekitarnya, ada satu nama yang senantiasa disebut dalam segala ritual baik itu ritual kebudayaan semisal pagelaran “Jaran Kepang” atau ritual Tahlil – nama ini selalu disebut oleh Pemerintah Desa saat melakukan Tahlil bersama. Nama itu adalah Pangeran Haryo Bangah atau Bathara Lowano.
          Masyarakat Desa Loano mempercayai bahwa ia adalah sang bahurekso wilayah Loano dan sekitarnya, walaupun secara historis tidak banyak yang mengetahui apa dan siapa  Bathara Lowano. Namun masyarakat Loano begitu menghormatinya sama seperti masyarakat Bagelen menghormat pada Nyai Ageng Bagelen. Bukan tidak mungkin tokoh satu ini adalah cikal bakal wong Loano sekarang, beranak pinak dan menurunkan para tokoh,pemimpin dan kawula Loano.
          Menurut cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Loano, Haryo Bangah adalah seorang bangsawan dari Pajajaran tanah Sunda yang melakukan ritual pengembaraan mnecari kesejatian hidup menurut anggapan kepercayaan pada masa itu. Ada sebagian yang menyebut bahwa Haryo Bangah adalah bangsawan pelarian dari Sunda, ia lari meninggalkan keraton untuk menyelematkan diri –mungkin terjadi kekacauan politik di dalam kerajaannya waktu itu. Kemudian ada yang menuturkan bahwa ia adalah putra Raja Pajajaran yang “meninggalkan kerajaan” karena dipaksa untuk menduduki Tahta kerajaan dan ada cerita lain lagi yang mengatakan bahwa ia adalah anak Bangsawan Sunda yang menikah dengan seorang putri dari Majapahit dan ketika remaja Si Haryo Bangah ini berpamitan meninggalkan Sunda untuk mencari keluarga ibunya di Majapahit. Sesampai di suatu tempat ia menghentikan perjalanannya kemudian menetap di tempat itu sembari mengucap kekecewaan tidak menuntaskan perjalanan.
          Dari uraian diatas didapati beberapa pernyataan kunci yaitu : bahwa Haryo Bangah :
1.    Adalah bangsawan Pajajaran yang mengembara mencari kesejatian hidup
2.     Lari dari hiruk pikuk politik
3.    Pergi karena dipaksa menduduki tahta
4.    Pergi ke majapahit untuk menemui keluarga ibunya dan memutuskan bertempat tinggal di suatu tempat sambil memendam kekecewaan-gela (jw)
Dari empat pernyataan kunci tersebut mungkin dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa Haryo Bangah adalah bangsawan Pajajaran yang lari dari hiruk pikuk politik ( tahta ) dan melakukan perjalanan ke Majapahit.
          Jika merunut sejarah, ada satu babak sejarah hubungan antara Pajajaran dan Majapahit yang begitu legendaries dan bahkan hingga kini oleh masyarakat Sunda terasa masih membekas, yaitu kisah perjodohan Dyah Pitaloka putri Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Prabu Hayam Wuruk Raja Majapahit.
          Dicatat dalam sejarah jika perjodohan tersebut tidak pernah terwujud, bahkan berakhir tragis. Kisah ini bermula dari birahi politik dan hasrat kekuasaan sang Patih Gajah Mada untuk menguasai seluruh Nusantara lewat Sumpah Palapanya, Gajah Mada telah melakukan sebuah tipu muslihat untuk menguasai kerajaan Pajajaran yang pada waktu itu adalah Negara merdeka di ujung Barat Pulau Jawa, lewat taktik perjodohannya Gajah Mada mampu mendatangkan Rombongan Bangsawan Pajajaran yang terdiri dari Sri Baduga Maharaja, putri Diah Pitaloka dan keluarga beserta seluruh Pasukannya ke Majapahit. Namun di sebuah Lapangan di Desa Bubat, Gajah Mada menginginkan jika sang Putri diserahkan kepada Prabu Hayam Wuruk bukan sebagai mempelai wanita namun sebagai persembahan serta pernyataan takluk kepada kekuasaan kemaharajaan Majapahit atas Pulau Jawa dan Nusantaraoleh Pajajaran. Tetapi permintaan Gajah Mada ini ditolak mentah-mentah oleh Raja Pajajaran karena dari persetujuan awal pernikahan kerajaan ini adalah hubungan perkawinan untuk persaudaraan bukan hubungan Negara taklukan. Singkat cerita perselisihan itu meruncing dan terjadilah peperangan antara Tentara Majapahit yang tentunya lebih besar daripada Pasukan Pajajaran. Dalam pertempuran di Lapangan Bubat ini Pasukan Pajajaran mengalami kekalahan, sang prabu pun menemui ajal, di penghujung kisah Putri Dyah Pitaloka mengetahui bahwa pasukan, ayah dan keluarganya berguguran akhirnya memutuskan diri untuk mengakhiri hidupnya, secara tragis sang putri menikam dirinya dengan keris ayahnya hingga menemui ajal.
          Lalu korelasi apa yang akan didapat dari kisah Perang Bubat dan perjalanan hidup Haryo Bangah ? Jika menilik cerita diatas ada hubungan antara kisah perjalanan Haryo Bangah, ini berangkat dari 4 pernyataan kunci mengenai cerita dari mulut ke mulut yang berkembang di masyarakat Desa Loano. Asumsi sejarah yang terbentuk adalah :
“Haryo Bangah memang betul Bangsawan Sunda keturunan Majapahit yang ikut serta dalam rombongan Sri Baduga Maharaja menghantarkan calon mempelai perempuan yakni Putri Dyah Pitaloka yang akan dikawinkan dengan Prabu Hayam Wuruk, Ia ikut ke Majapahit dengan misi selain mengawal sang Prabu juga akan menemui keluarga ibunya yang orang Majapahit, namun sebelum ia bertemu dengan keluarganya, justru kemalangan yang mereka terima, rombongan Pajajaran malahan terlibat perselisihan ( hiruk pikuk politik ) dan meruncing menjadi suatu peperangan. Karena kekalahan di pihak Pajajaran, kemungkinan ada sisa pasukan/rombongan Pajajaran dan itu salah satunya Haryo Bangah melarikan diri dari pertempuran hendak kembali ke Pajajaran karena dengan gugurnya Sri Baduga Maharaja maka otomatis Tahta Pajajaran kosong, akan tetapi kembalinya Haryo Bangah ke Sunda bukan berarti akan menduduki Tahta Pajajaran, namun secara garis besar perasaan kecewa yang dialami oleh Haryo Bangah selama mendapatkan pengalaman dalam perjalanannya ke Majapahit betul-betul membuat dirinya kecewa (gelo-jawa).”
          Akhirnya Haryo Bangah dan beberapa pengikut sisa pasukan Pajajaran memutuskan untuk kembali ke Tanah Sunda, dari Majapahit mereka melakukan perjalanan ke arah selatan menuju pesisir Pantai Selatan, sesampainya di pesisir pantai selatan rombongan kecil itu meneruskan langkah kaki ke arah barat, mereka sengaja melewati jalur pesisir agar mudah dan tidak tersesat berbeda jika lewat pedalaman yang tentunya waktu itu Tanah Jawa masih banyak yang berupa hutan belantara. Ketika rombongan itu sampai di sebuah muara sungai di wilayah tengah dari Pulau Jawa, mereka berpendapat jika tentara Majapahit tentunya sudah tidak menjangkau mereka maka mereka mulai merubah pikiran untuk meneruskan perjalanan melalui jalur pedalaman, dan jalan yang mereka pilih adalah menyusuri muara sungai tadi, terus mereka berjalan dan semakin masuk ke pedalaman.
          Suatu saat ketika mereka beristirahat, Haryo Bangah memikirkan jika perjalanan yang telah mereka tempuh adalah perjalanan yang penuh kekecewaan. Ia khawatir jika  perjalanan itu mereka teruskan hingga  sampai ke Pajajaran maka akan semakin membuat hati mereka kecewa bahkan hancur, mengingat Prabu Sri Baduga Maharaja telah gugur maka bukan tidak mungkin situasi politik Tanah Sunda telah berubah, Rezim baru pasti telah muncul atau bahkan mungkin kekacauan hingga krisis politik kerajaan telah terjadi - (ini memang terjadi, dalam sejarah dituliskan bahwa pasca Tragedi Bubat situasi Politik Pajajaran menjadi kacau, puncak dari kekacauan itu adalah berpindahnya pusat kerajaan dari Galuh ke Pakwan). Haryo Bangah mengutarakan pendapatnya itu kepada seluruh rombongan kecil tadi, merekapun sependapat dan mengiyakan apa yang Haryo Bangah utarakan.
          Rombongan itu kemudian merubah misi, dari perjalanan kembali ke Pajajaran menjadi pengembaraan.
Pada suatu ketika, dalam pengembaraan itu mereka sampai di suatu tempat, yakni sebuah tempat di tepi aliran sungai  Bogowonto dimana di tempat itu terdapat pertemuan dua aliran sungai, dalam kepercayaan Hindu tempat yang di dekat pertemuan dua sungai seringkali disebut tanah “Kadewan” atau tanah anugrah Dewata, di tempat seperti itu pasti tanahnya subur. Haryo Bangah mulai berpikir bahwa pengembaraannya yang tanpa tujuan ini harus diakhiri. Dan ketika sampai di tempat tadi ia merasa “jatuh cinta” dengan tanah diantara pertemuan dua sungai tadi. Haryo Bangah memerintahkan salah seorang rombongan untuk mencari tahu nama tempat ini ke penduduk sekitar, dan jawaban yang mereka dapatkan adalah bahwa tempat itu oleh penduduk setempat disebut “Tempuran” dan kini tempat tersebut dikenal sebagai Tempuran Mas. Kata Tempuran Mas sendiri berasal dari jawaban penduduk yang ditanyai oleh suruhan Haryo Bangah, mungkin dialognya begini : “papan mriki sinebute nopo ki sanak? “ – “ mriki puniko aranipun Tempuran…. Mas…”.( tambahan Mas, adalah kata penghormatan dari seseorang yang baru saja dikenal) namun oleh sang pesuruh ketika melapor pada Haryo Bangah kata Tempuran… Mas…. Dijadikan satu menjadi Tempuran Mas.
Setelah tahu bahwa tempat tersebut bernama Tempuran Mas, maka Haryo Bangah semakin yakin bahwa tempat itu adalah Tanah Kadewan, ia beranggapan kata tempuran bermakna pertemuan dan mas dari anggapan kata emas sendiri adalah kekayaan/ kejayaan. Haryo Bangah pun memutuskan untuk mengakhiri pengembaraan dan menetap di wilayah itu.
Haryo Bangah dan pengikutnya kemudian menyusuri tempat itu dan menemui penduduk setempat, oleh penduduk tempuran rombongan kecil itu disambut dengan ramah dan diperlakukan bak tamu agung. Akhirnya pada satu kesempatan mereka bertemu denga tetua desa, Haryo Bangah mulai menceritakan pengalaman mereka di Majapahit dan tentunya asal usulnya. Karena cerita yang begitu tragis dan perasaan dukalara serta kecewa yang teramat dalam maka warga setempat menyebut rombongan Haryo Bangah itu denga sebutan “Sing Gelo “ atau yang kecewa.
Bagaimanapun Haryo Bangah adalah bangsawan, tutur kata, perilaku dan tindak tanduknya selalu terjaga, oleh masyarakat sekitar Haryo Bangah mendapatkan simpati. Respek terhadapnya juga begitu kentara. Hingga berlalunya waktu akhirnya Haryo Bangah menikah dengan gadis setempat, dari perkawinannya itu ia mendapatkan seorang Putra yang dipanggil “ ADEN” julukan sebagai pengingat baginya bahwa ia hanyalah seorang yang numpang di tanah Tempuran, maka dengan anaknya sendiripun ia menganggap si anak sebagai Tuan dan saat memanggilnya ia sebut dengan “aden” atau Raden ( secara harafiah berarti Tuan) itulah salah satu keluhuran budi Haryo Bangah. Oleh penduduk Tempuran si Aden dipanggil dengan Anden dan Anden ini kelak dikenal dalam sejarah Loano sebagai Pangeran Anden Lowano.
Waktupun bergulir, Haryo Bangah semakin mendapat tempat di hati penduduk Tempuran, karena keluhuran budi, kepandaian dan kesaktiannya ia semakin dikenal tidak hanya oleh penduduk Tempuran saja namun meluas hingga desa-desa di sekitar Tempuran. Akhirnya pada suatu waktu oleh tetua Desa Tempuran dan para tetua desa sekitar tempuran Haryo Bangah diangkat menjadi pemimpin mereka, sejak itulah Haryo Bangah sing gelo menjadi orang yang dipercaya untuk memimpin tlatah Tempuran dan sekitarnya.
Lambat laun, sebutan sing gelo malah menjadi popular di kalangan masyarakat sekitar, dan dengan beriringnya waktu Haryo Bangah menamai wilayah Tempuran itu dengan sebutan SINGGELOPURO yang berasal dari kata Sing Gelo artinya yang kecewa dan kata Puro atau istana – personifikasi dari kemulyaan. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa SINGGELOPURO adalah tempat dimana orang yang mengalami kekecewaan justru mendapatkan kemuliaan.
Kepemimpinan Haryo Bangah yang adil dan bijaksana menempatkan dirinya menjadi orang yang memang dimuliakan oleh penduduk Singgelopuro. Kemajuan Singgelopuro semakin pesat, banyak desa bergabung menjadi wilayah Singgelopuro yang kemudian berkembang menjadi semacam Kadipaten, dan sebagai penghormatan atas kepemimpinannya mereka memberi gelar Haryo Bangah dengan sebutan Adipati Singgelopuro tetapi Haryo Bangah bagaimanapun mengalir darah Sunda ia merasa gelar itu terlalu tinggi dan justru lebih senang dipanggil sebagai Buyut Singgelo. Karena sifatnya yang begitu mengayomi dan memberikan rasa tentram kepada yang dikuasainya di kelak kemudian hari hingga sekarang Haryo Bangah atau Adipati Singgelopuro alias Buyut Singgelo disebut Bathara Lowano. ( hal ikhwal Singgelopuro menjadi nama Lowano akan diterangkan pada tulisan yang lain).
                                         Loano, Selasa Kliwon 28 Oktober 2014
                                                    Pukul 23.20 WIB




SELAYANG PANDANG SEJARAH LOWANO
SEBUAH KISAH YANG BERKEMBANG DARI MULUT KE MULUT

          Sejarah adalah seluruh kejadian yang pernah terjadi, banyak orang menganggap bahwa sejarah adalah hal yang biasa, sepele dan merupakan peristiwa di masa lalu yang kadang hanya dianggap sebagai ingatan atau memori peristiwa (pengalaman). Namun anggapan akan menjadi lain ketika peristiwa itu berkaitan dengan seseorang yang “linuwih” atau merujuk pada suatu tempat yang mempunyai makna tertentu bagi sebagian orang, maka orang akan secara sukarela mencari cerita bahkan memaksakan untuk membuat cerita yang berujung pada sebuah akronim dari history menjadi his story.
          Tulisan ini dibuat tidak sekedar untuk membuat cerita saja, namun lebih dari itu sebagai pengalian sebuah jatidiri dan kebanggaan sekumpulan masyarakat yang hidup, bertempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di sebuah tempat yang bernama Desa Loano. Mungkin telah beratus- ratus tulisan dan berpuluh-puluh sumber telah digali untuk menceritakan kembali kesejarahan sebuah tempat yang dulunya bernama Singgelopuro, namun kadangkala bnayak ditemukan berbagai kejanggalan-kejanggalan dalam isi cerita itu.
Penulis pernah membaca blog dari internet - yang tentunya tidak usah disebutkan adminnya. Dalam tulisannya itu disebutkan bahwa penguasa Loano tempo dulu- Haryo Bangah adalah anak dari Brawijaya –Raja Majapahit terakhir, kemudian ada lagi yang menuliskan bahwa Retno Marlangen ( dalam cerita Loano disebut-sebut sebagai istri Pangeran Anden Loano anak Haryo Bangah) adalah anak perempuan dari Brawijaya, tapi kedua cerita itu kembali bertabrakan ketika ada cerita lain yang mengatakan kalau Haryo Bangah dan Retno Marlangen adalah kakak beradik. Lucu juga ketika ketiga cerita itu disinkronkan dengan cerita dari mulut ke mulut yang berkembang di Loano. Mengapa ?
Cerita Pertama : Haryo Bangah anak Brawijaya, sepertinya ini tidak mungkin karena Brawijaya yang disebut sebagai Raja terakhir Majapahit adalah Raja dari sebuah kerajaan di bekas Majapahit artinya para sejarawan meyakini bahwa Majapahit sebagai Negara besar telah runtuh pada Tahun 1478 Masehi, sementara akhir dari masa pemerintahan Brawijaya adalah tahun 1527 Masehi, banyak sejarawan yang meneyebut bahwa Brawijaya terkhir ini sebenarnya adalah Raja dari Daha ( Kediri ) yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit pasca perang Paregreg walaupun di banyak cerita dahulunya Penguasa Daha (Bhre Daha) adalah adik dari Ratu Tribuwana Tunggadewi ibu Hayam Wuruk bahkan Hayam Wuruk-pun tercatat dalam sejarah juga menantu  Bhre Daha dari perkawinannya dengan Paduka Sori anak perempuan Bhre Daha ( Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Terbitan Tahun 1976). Lagipula jika Haryo Bangah adalah anak Brawijaya, dirasa juga tidak mungkin karena Brawijaya Terakhir mulai surut dari panggung sejarah sejak tahun 1527 atau awal kebangkitan Islam di Demak, sementara dari cerita penyebaran Islam dikenal nama Ki Tjokrodjoyo atau  Sunan Geseng murid Sunan Kalijogo, yang dalam sejarah ia melakukan penyebaran Agama Islam di wilayah Kedu, Bagelen tentunya termasuk Loano, dan di Loano ini Sunan Geseng meninggalkan sebuah monument yang hingga kini masih kokoh berdiri yaitu Masjid Jami’ AL IMAN Loano. Jika dipaksakan maka yang terjadi adalah Haryo Bangah sejaman dengan Sunan Geseng, padahal dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut Haryo Bangah adalah pemeluk Hindu dan tidak mungkin masuk Islam karena diyakini oleh sebagian masyarakat Loano Haryo Bangah ( Batara Lowanu ) tidak meninggal namun moksa, sebuah proses akhir hidup tertinggi versi Agama Hindu dengan menghilangnya jiwa serta raga secara bersamaan.
Cerita kedua : Retno Marlengen adalah anak Brawijaya terakhir, inipun juga kacau karena dari kesimpulan cerita yang pertama bahwa Haryo Bangah adalah Hindu, tidak sejaman dengan Sunan Geseng, rentang tahun hidup Haryo Bangah ratusan tahun dengan perkembangan Islam, maka mana mungkin Retno Marlengen yang hidup di awal perkembangan Islam diambil menantu oleh Haryo Bangah.
Cerita Ketiga : Haryo Bangah dan Retno Marlengen adalah kakak beradik, inipun juga tidak mungkin karena dalam cerita Retno Marlengen adalah istri dari anak Haryo Bangah, jadi sebuah ketidakmungkinan ketika adik sendiri diambil menantu.
          Tulisan ini bukan berarti akan mengklaim sebagai cerita yang terbenar, namun sekedar pendokumentasian dari sebuah cerita dari mulut ke mulut yang berkembang di masyarakat Loano namun penulis hanya mencoba untuk menyinkronkan / menyesuaikan dengan fakta sejarah, minimal ini adalah sebuah referensi baru untuk menguak sejarah Loano Tua  yang sebenarnya walaupun di lapangan dapat dikatakan sulit karena bukti kesejarahan dari Loano juga sangat minim, yang dapat digali hanyalah sebuah cerita /mitos yang berkembang di masyarakat yang kadang telah dibumbui dengan cerita-cerita yang dibuat untuk melegitimasi kalangan-kalngan tertentu. Tulisan inipun juga mempunyai banyak kelemahan-kelemahan karena rentetan peristiwa yang dituliskan berdasar asumsi-asumsi saja. Tapi bagaimanapun kita juga harus menyadari karena kisah-kisah yang telah dituturkan oleh para pendahulu kita dulu mungkin juga bagian dari asumsi mereka mengingat rentang kejadian asal muasal dari Loano sendiri telah berumur ratusan tahun.
          Kompilasi ini disusun berpijak dari cerita tentang Loano Tua ( era Haryo Bangah ) kemudian Loano Muda ( era Dinasti Gagak berkuasa ) kemudian Loano Riwayatmu ( era pra kemerdekaan ) dan Loano Kontemporer ( era Loano pasca kemerdekaan hingga kini ). Harapannya agar seluruh masyarakat Loano dapat mengetahuinya, mencoba merasakan dan meresapinya agar timbul sebuah kebanggaan menjadi “wong Loano”
                                                     Loano Purworejo,          Tahun 2014
                                                                            Penulis,

                                                                   ERWAN WILODILOGO
































Rabu, 11 Juni 2014

ASAL KATA SEBUTAN DUSUN TLEPO

Tlepo, begitulah masyarakat menyebut dusun di wilayah Desa Loano yang terletak di ujung timur laut desa. Tidak banyak yang tahu asal muasal sebutan Tlepo untuk daerah ini, secara histogeografi "mungkin" dulunya wilayah ini masuk bagian dari Wana Grumbulan yang kemudian disebut Gembulan oleh orang Lowano masa kini.
Namun asal kata atau sebutan Tlepo ini didapat penulis dari sebuah percakapan yang tak sengaja dengan salah seorang bekas Perangkat Desa Loano di era 90an. 
Namanya Muji, Sebutlah Pak Muji, dahulu pernah menjabat sebagai Kepala Dusun Lowano Wetan antara tahun 80an hingga 90an, dalam kesempatan itu penulis secara tak sengaja menanyakan kepada beliau tentang dusun Tlepo.
Dari percakapan itu, Pak Muji menceritakan bahwa dahulunya daerah Tlepo itu disebut oleh orang sebagai "Sentlip" bahkan hingga pertengahan tahun 80an masih banyak orang luar daerah yang menanyakan alamat di Dusun Tlepo masih dengan sebutan Sentlip. Mengapa disebut sentlip pak? ujar saya kepada beliau.
Beginilah ceritanya mas Erwan.......... katanya
Alkisah pada jaman perang dulu daerah Lowano adalah salah satu tempat yang lumayan diperhitungkan posisi geografisnya oleh para pejuang baik itu pihak kita ataupun pihak Belanda, pada suatu hari Pasukan Belanda melakukan penyerangan sekaligus pembersihan terhadap pejuang-pejuang kita di wilayah ini, di sebuah tempat--mungkin dusun tepatnya di utara Dusun Tlepo masakini, dan tempat pembersihan ini dikenal dengan Onggopaten atau tempat pembantaian---yang kini masuk ke wilayah Desa Mudalrejo, Belanda melakukan pembersihan terhadap rakyat, entah berdosa atau tidak, entah dia pejuang atau bukan Belanda tetap melakukan kekejian dan kekejamannya pada warga dusun itu, dari sebagian warga dusun itu utamanya para perempuan dan anak-anak berlarian melarikan diri untuk meyelamatkan jiwa masing-masing, mereka berlarian menyeberangi sungai Bogowonto, naik ke bantaran sisi barat yang banyak semak belukar dan pepohonan perdu (grumbulan). Disinilah mereka meratapi nasib dan menunggu keajaiban nasib pula agar bisa selamat dari serbuan dan kejaran musuh, mereka berlindung sembari terisak-isak menangis. Nah, isakan dan tangisan ini oleh orang jawa disebut " Sentlap-sentlip" secara harafiah berarti terisak-isak. 
Di kemudian hari tempat orang-orang yang terisak-isak itu disebut "Sentlipan" dari kata Sentlip dan akhiran -an ( Akhiran -an oleh orang jawa banyak digunakan sebagai keterangan tempat, seperti Kediaman Raden Pakuningrat disebut Pakuningratan )
lambat laun kata-kata sentlipan bermetamorfosis menjadi sentlip dan terkini menjadi tlipo atau Tlepo.
Entah benar atau tidak cerita ini, namun jika disatukan menjadi satu kerangka pemikiran sejarah asal kata yang menjadikan kesatuan Daerah yang bernama Desa Lowano, cerita ini dapat dimasukkan sebagai kekayaan khazanah Histogeografi untuk Desa Loano.
( Diceritakan oleh Erwan Wilodilogo atas sumber dari Bapak Muji Mantan Kepala Dusun Loano Wetan, 12 Juni Duaribuempatbelas)

Senin, 03 Maret 2014

MENGAPA DISEBUT JOGOTAMU ?

          Dari 12 (Duabelas) dusun di wilayah Desa Loano, salah satunya ada yang bernama Dusun Jogotamu, letaknya di ujung barat Desa Loano, berbatasan langsung dengan Desa Jetis-masih kecamatan Loano.
Banyak versi yang mengisahkan asal kata sebutan jogotamu untuk Dusun Jogotamu. Akan tetapi penulis hanya akan membicarakan satu versi saja yang dimungkinkan ini dapat dimaknai sebagai sebuah monumen kesejarahan Desa Loano. Di tulisan-tulisan yang terdahulu penulis selalu menarik alur cerita dari sejarah Perang Djawa, ini bukan tanpa alasan sebab Loano sebagai bagian dari sejarah merupakan tempat dimana saat perang Djawa berkecamuk tempat ini mempunyai peran strategis dalam mewarnai jalannya perang. Loano yang subur memberikan sebuah jaminan ketresediaan pangan bagi pejuang Diponegoro dan di Loano pula sebuah dukungan Politik, sosial dan sumberdaya diberikan untuk lancarnya perjuangan  Sang Pangeran dalam meletakkan sendi-sendi kekuatan barisan tentara, hal ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh dari Pejuang sang Pangeran menetap,berada dan bahkan ketika perang usai dan meninggal mereka dikebumikan disini, dapatlah disebut Raden Gagak Handoko, Tumenggung Duk Jekso, Pangeran Koconegoro, Ki Ketidrono, kerabat Surokusumo dan masih banyak lagi, semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Loano tempo doeloe.
Diriwayatkan, Loano sebelum pecah Perang Diponegoro adalah sebuah wilayah otonom di bawah kendali Kasunanan Surakarta - hal ini konsekwensi dari perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi 2 bagian yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat berpusat di Solo- sekarang, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, karena pembagian yang disepakati dahulu berdasarkan cacah/penduduk bukan atas dasar teritori maka yang terjadi adalah kekacauan wilayah sebab bukan tidak mungkin daerah dekat Yogyakarta justru menjadi wilayah Surakarta atau sebaliknya - dan penguasa Loano saat itu adalah Trah dari Sri Susuhunan Pakubuwono II. Dari sekian penguasa wilayah ini yang paling populer disebutkan oleh warga masyarakat Loano hingga kini adalah Raden Gagak Handoko. 
Pada kisaran Tahun 1823 an, terjadilah krisis Politik di Kasultanan Yogyakarta yaitu terjadinya perebutan pengaruh antar kerabat Kerajaan.  Puncak dari keadaan itu adalah Keluarnya RM Ontowiryo dari Istana dan memimpin perlawanan terhadap Sultan yang notabene adalah keponakannya sendiri- sejarah mencatat sang Sultan terlalu dipengaruhi Belanda. Perlawanan demi perlawanan terus terjadi dan ini menggerogoti hampir seluruh wilayah kasultanan hingga merembet ke wilayah Kasunanan Surakarta yang mana di awal tulisan Loano disebut masuk wilayah Kasunanan. Di daerah ini Diponegoro mendapat dukungan dari penguasa Loano. Namun karena sang pangeran adalah kerabat Kasultanan sedang penguasa Loano merupakan bawahan dari kasunanan maka untuk mewujudkan dukungan itu Raden Gagak Handoko mempunyai cara dengan mencari tempat di wilayah Loano untuk pihak Pejuang Diponegoro dan pihak Pegagakan saling bertemu, maka dipilihlah sebuah tempat di ujung barat "kota Loano" di bagian gugusan Bukit Gunung Damar. Tempat ini dipilih karena jauh dari jangkauan pengawasan tentara Kasunanan yang dibantu Belanda juga karena masih termasuk wilayah Bukit Gunung Damar yang terkenal dengan daya magisnya waktu itu.
Sejak saat itu tempat tersebut dijadikan sebagai wahana pertemuan para pejuang Diponegoro dan Prajurit Pegagakan, oleh karena pihak pejuang Diponegoro dianggap tamu oleh pihak Loano maka tempat tersebut disebut "nggon jogotamu" artinya tempat untuk menunggu/ menyambut tamu. Dan dengan seiringnya perkembangan jaman tempat di kaki Bukit Gunung Damar itu disebut sebagai Jogotamu.

( Diarsipkan Oleh Erwan Wilodilogo, 03 Maret Duaribu empatbelas )

Minggu, 02 Maret 2014

ASAL USUL SEBUTAN DUSUN GEMBULAN

Pada cerita yang terdahulu, penulis telah kisahkan asal-usul nama Dusun Pongangan Desa Loano, kali ini penulis akan ceritakan asal kata gembulan pada Dusun Gembulan yang juga salah satu nama dusun di Desa Loano.
Cerita ini berawal dari masa perang Diponegoro, hal ini tak dapat dipungkiri, sejarah telah menuturkan bahwa zona merah dari babag Perang Djawa memang terjadi di daerah Bagelen ( Purworejo), Menoreh ( Magelang), Urut sewu (Wonosobo) dan Ledok ( gombong), salah satu daerah di Bagelen yang termasuk dalam medan pertempuran sengit adalah Loano-tapi jangan dibayangkan Loano dulu adalah Loano yang sekarang. Loano waktu itu masih berbentuk semi Kerajaan dan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya situs-situs peninggalan masa laloe di sini ( nanti di bagian tulisan yang lain akan dijelaskan satu persatu ).
Kembali ke pokok bahasan Gembulan.
Sepanjang sungai Bogowonto waktu itu adalah medan pertempuran yang efektif bagi pasukan Diponegoro yang melancarkan perang ala gerilya, ini didukung dengan topografi yang bergunung-gunung dan kelokan -kelokan sungai yang dijejali hutan. Kata yang punya cerita, dahulu Detasemen Pasukan Diponegoro yang berjuang di Bagelen Utara bermarkas di daerah Gunungwangi, sejiwan dan Loano, di wilayah Loano ini terdapat jalan Kolonial yang menghubungkan antara Bagelen dengan Menoreh ( Magelang ), jalan inilah yang memberikan suplai kemudahan bagi tentara Belanda untuk menopang tentara kasunanan Surakarta dalam menumpas gerakan pasukan Diponegoro, artinya bahwa jalan yang sekarang menjadi jalan Raya Magelang inilah yang dijadikan oleh kedua pihak kontra Diponegoro saling bahu-membahu menumpas pasukan sang Pangeran.
Sejarah telah mencatat Detasemen tangguh pendukung Diponegoro adalah Pasukan yang dibawah kendali Raden Gagak Handoko  penguasa wilayah Loano pada waktu itu, Pasukan Pegagakan demikan mereka menyebut detasemennya, mereka senantiasa berjuang dengan cara-cara yang mengejutkan ala siluman, sepanjang ruas Jalan Magelang telah mereka pasangi beberapa tempat untuk mengintai pada saat suplai kekuatan antara pasukan kasunanan Surakarta dengan pasukan jendral De-Kock berinteraksi ketika kedua pihak itu akan melakukan serangan ke wilayah Bagelen dari Magelang,nah pada waktu mereka melintas wilayah Loano, mereka akan mendapatkan sambutan sengit dari Pasukan Pegagakan. Pasukan Belanda dan Kasunanan dipastikan akan mengalami kebingungan ketika serangan siliuman itu muncul di daerah Loano.
Akhirnya karena seringnya Konsolidasi pasukan Kasunanan dan Belanda mengalami kekacauan jika melewati Loano maka pihak Belanda melalui kaki tangannya di Loano segera mencari informasi dimana sebenarnya pusat dari gerakan Pasukan Pegagakan itu memulai pengintaian, setelah beberapa waktu diadakan penyelidikan maka diketahuilah bahwa tempat yang digunakan oleh para pejuang Diponegoro dalam mengacau-balaukan pasukan musuh adalah suatu tempat di ujung sebuah pertemuan Sungai Bogowonto dengan sungai Kodil ( tempuran mas ), tempat itu berlembah-lembah, bergunung dan berhutan, akan tetapi hutan dimaksud bukanlah hutan lebat penuh pepohonan namun hutan yang dipenuhi oleh gerumbulan semak belukar, di sinilah Pejuang Diponegoro memulai aksinya.
Setelah diketahuinya tempat itu, maka pihak Pasukan Kasunanan memulai aksinya untuk melakukan patroli rutin di wilayah itu, dan oleh mereka disebutlah tempat tadi dengan "Wana grumbulan". Dan sejak saat itulah tempat strategis itu disebut grumbulan dan lambat laun kata-kata grumbulan dilafalkan menjadi Gembulan.
( Cerita ini disarikan dari beberapa sumber, dan terimakasih untuk Kadus Gembulan Bapak Marjani )
Diarsipkan Oleh Erwan Wilodilogo.
Loano, Tiga Maret Duaribu Empatbelas

Jumat, 28 Februari 2014

ASAL MULA NAMA DUSUN PONGANGAN DI DESA LOANO

          Pongangan adalah salah satu nama Dusun di Desa Loano, tepatnya terletak di batas selatan Desa, di dusun ini terdapat beberapa petilasan yang menurut cerita dari mulut ke mulut adalah tempat-tempat yang dahulu pernah disinggahi oleh Raden Mas Ontowiryo sang Sultan Herucakra pemimpin /penegak agama Islam di tanah Jawa -populer dengan sebutan Pangeran Diponegoro sang pengobar perang Jawa.
Salah satu tempat itu adalah adanya sebuah Batu besar yang di luar kelaziman ukuran batu yang terletak di sebuah tempat yang banyak dihuni manusia, konon ceritanya batu besar ini oleh Para prajurit Diponegoro dijadikan semacam panggung untuk melihat keadaan sekitar sungai Bogowonto, gugusan pegunungan Menoreh dan wilayah utara daerah Bagelen, ini dilakukan oleh para prajurit pejuang Diponegoro sebagai upaya untuk bersiap siaga menghadapi gerakan ataupun serbuan tentara Kasunanan Surakarta yang dibantu oleh pasukan Belanda. dan menurut sejarah yang berkembang hal tersebut dapat dipahami karena wilayah utara bagelen dan tepi sungai Bogowowonto merupakan salah satu medan pertempuran Perang Djawa.
Alkisah karena seringnya batu tersebut digunakan sebagai tempat mengintai maka oleh penduduk sekitar disebutlah tempat itu " Watu Pangungakan " -(jawa- ngungak adalah melihat dengan setengah bersembunyi), dan seiring dengan berkembangnya waktu dan jaman istilah pangungakan menjadi sebutan yang lazim untuk menandai wilayah tersebut, dan berkembang dengan kecepatan lafal lidah penduduk Loano pangungakan yang artinya tempat ngungak (mengintai) lambat laun menjadi " Pongangan "
Dan apabila pembaca penasaran dengan kebenaran cerita ini, silakan dapat mengunjungi situs tersebut di Dusun Pongangan tepatnya di rumah Bapak Waris salah seorang warga dusun Pongangan dan sebagai tambahan pernah satu ketika batu tersebut dipindah dari tempatnya semula tetapi tanpa diduga dan diketahui pada keesokan hari setelah dipindahnya batu itu, si Watu Pangungakan ini kembali lagi ke tempatnya semula dan misteri ini hingga saat ini belum ada yang bisa menjawabnya...... Anda tertarik......?

Loano, Satu Maret Duaribu Empatbelas.
Didokumentasikan dan diarsipkan oleh Erwan Wilodilogo