SELAYANG PANDANG SEJARAH LOWANO
SEBUAH KISAH YANG BERKEMBANG
DARI MULUT KE MULUT
Sejarah adalah seluruh kejadian yang pernah terjadi, banyak
orang menganggap bahwa sejarah adalah hal yang biasa, sepele dan merupakan
peristiwa di masa lalu yang kadang hanya dianggap sebagai ingatan atau memori
peristiwa (pengalaman). Namun anggapan akan menjadi lain ketika peristiwa itu
berkaitan dengan seseorang yang “linuwih” atau merujuk pada suatu tempat yang
mempunyai makna tertentu bagi sebagian orang, maka orang akan secara sukarela
mencari cerita bahkan memaksakan untuk membuat cerita yang berujung pada sebuah
akronim dari history menjadi his story.
Tulisan ini dibuat tidak sekedar untuk membuat cerita saja,
namun lebih dari itu sebagai pengalian sebuah jatidiri dan kebanggaan
sekumpulan masyarakat yang hidup, bertempat tinggal dan melakukan kegiatan
sehari-hari di sebuah tempat yang bernama Desa Loano. Mungkin telah beratus-
ratus tulisan dan berpuluh-puluh sumber telah digali untuk menceritakan kembali
kesejarahan sebuah tempat yang dulunya bernama Singgelopuro, namun kadangkala
bnayak ditemukan berbagai kejanggalan-kejanggalan dalam isi cerita itu.
Penulis pernah membaca blog
dari internet - yang tentunya tidak usah disebutkan adminnya. Dalam tulisannya
itu disebutkan bahwa penguasa Loano tempo dulu- Haryo Bangah adalah anak dari
Brawijaya –Raja Majapahit terakhir, kemudian ada lagi yang menuliskan bahwa
Retno Marlangen ( dalam cerita Loano disebut-sebut sebagai istri Pangeran Anden
Loano anak Haryo Bangah) adalah anak perempuan dari Brawijaya, tapi kedua
cerita itu kembali bertabrakan ketika ada cerita lain yang mengatakan kalau
Haryo Bangah dan Retno Marlangen adalah kakak beradik. Lucu juga ketika ketiga
cerita itu disinkronkan dengan cerita dari mulut ke mulut yang berkembang di
Loano. Mengapa ?
Cerita Pertama : Haryo Bangah
anak Brawijaya, sepertinya ini tidak mungkin karena Brawijaya yang disebut
sebagai Raja terakhir Majapahit adalah Raja dari sebuah kerajaan di bekas
Majapahit artinya para sejarawan meyakini bahwa Majapahit sebagai Negara besar
telah runtuh pada Tahun 1478 Masehi, sementara akhir dari masa pemerintahan
Brawijaya adalah tahun 1527 Masehi, banyak sejarawan yang meneyebut bahwa
Brawijaya terkhir ini sebenarnya adalah Raja dari Daha ( Kediri ) yang
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit pasca perang Paregreg walaupun di
banyak cerita dahulunya Penguasa Daha (Bhre Daha) adalah adik dari Ratu
Tribuwana Tunggadewi ibu Hayam Wuruk bahkan Hayam Wuruk-pun tercatat dalam
sejarah juga menantu Bhre Daha dari
perkawinannya dengan Paduka Sori anak perempuan Bhre Daha ( Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II Terbitan Tahun 1976). Lagipula jika Haryo Bangah adalah anak
Brawijaya, dirasa juga tidak mungkin karena Brawijaya Terakhir mulai surut dari
panggung sejarah sejak tahun 1527 atau awal kebangkitan Islam di Demak,
sementara dari cerita penyebaran Islam dikenal nama Ki Tjokrodjoyo atau Sunan Geseng murid Sunan Kalijogo, yang dalam
sejarah ia melakukan penyebaran Agama Islam di wilayah Kedu, Bagelen tentunya
termasuk Loano, dan di Loano ini Sunan Geseng meninggalkan sebuah monument yang
hingga kini masih kokoh berdiri yaitu Masjid Jami’ AL IMAN Loano. Jika
dipaksakan maka yang terjadi adalah Haryo Bangah sejaman dengan Sunan Geseng,
padahal dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut Haryo Bangah adalah
pemeluk Hindu dan tidak mungkin masuk Islam karena diyakini oleh sebagian
masyarakat Loano Haryo Bangah ( Batara Lowanu ) tidak meninggal namun moksa,
sebuah proses akhir hidup tertinggi versi Agama Hindu dengan menghilangnya jiwa
serta raga secara bersamaan.
Cerita kedua : Retno Marlengen
adalah anak Brawijaya terakhir, inipun juga kacau karena dari kesimpulan cerita
yang pertama bahwa Haryo Bangah adalah Hindu, tidak sejaman dengan Sunan Geseng,
rentang tahun hidup Haryo Bangah ratusan tahun dengan perkembangan Islam, maka
mana mungkin Retno Marlengen yang hidup di awal perkembangan Islam diambil
menantu oleh Haryo Bangah.
Cerita Ketiga : Haryo Bangah
dan Retno Marlengen adalah kakak beradik, inipun juga tidak mungkin karena
dalam cerita Retno Marlengen adalah istri dari anak Haryo Bangah, jadi sebuah
ketidakmungkinan ketika adik sendiri diambil menantu.
Tulisan ini bukan berarti akan mengklaim sebagai cerita
yang terbenar, namun sekedar pendokumentasian dari sebuah cerita dari mulut ke
mulut yang berkembang di masyarakat Loano namun penulis hanya mencoba untuk
menyinkronkan / menyesuaikan dengan fakta sejarah, minimal ini adalah sebuah
referensi baru untuk menguak sejarah Loano Tua yang sebenarnya walaupun di lapangan dapat
dikatakan sulit karena bukti kesejarahan dari Loano juga sangat minim, yang
dapat digali hanyalah sebuah cerita /mitos yang berkembang di masyarakat yang
kadang telah dibumbui dengan cerita-cerita yang dibuat untuk melegitimasi kalangan-kalngan
tertentu. Tulisan inipun juga mempunyai banyak kelemahan-kelemahan karena
rentetan peristiwa yang dituliskan berdasar asumsi-asumsi saja. Tapi
bagaimanapun kita juga harus menyadari karena kisah-kisah yang telah dituturkan
oleh para pendahulu kita dulu mungkin juga bagian dari asumsi mereka mengingat
rentang kejadian asal muasal dari Loano sendiri telah berumur ratusan tahun.
Kompilasi ini disusun berpijak dari cerita tentang Loano
Tua ( era Haryo Bangah ) kemudian Loano Muda ( era Dinasti Gagak berkuasa )
kemudian Loano Riwayatmu ( era pra kemerdekaan ) dan Loano Kontemporer ( era
Loano pasca kemerdekaan hingga kini ). Harapannya agar seluruh masyarakat Loano
dapat mengetahuinya, mencoba merasakan dan meresapinya agar timbul sebuah
kebanggaan menjadi “wong Loano”
Loano Purworejo, Tahun
2014
Penulis,
ERWAN WILODILOGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar