Senin, 03 Maret 2014

MENGAPA DISEBUT JOGOTAMU ?

          Dari 12 (Duabelas) dusun di wilayah Desa Loano, salah satunya ada yang bernama Dusun Jogotamu, letaknya di ujung barat Desa Loano, berbatasan langsung dengan Desa Jetis-masih kecamatan Loano.
Banyak versi yang mengisahkan asal kata sebutan jogotamu untuk Dusun Jogotamu. Akan tetapi penulis hanya akan membicarakan satu versi saja yang dimungkinkan ini dapat dimaknai sebagai sebuah monumen kesejarahan Desa Loano. Di tulisan-tulisan yang terdahulu penulis selalu menarik alur cerita dari sejarah Perang Djawa, ini bukan tanpa alasan sebab Loano sebagai bagian dari sejarah merupakan tempat dimana saat perang Djawa berkecamuk tempat ini mempunyai peran strategis dalam mewarnai jalannya perang. Loano yang subur memberikan sebuah jaminan ketresediaan pangan bagi pejuang Diponegoro dan di Loano pula sebuah dukungan Politik, sosial dan sumberdaya diberikan untuk lancarnya perjuangan  Sang Pangeran dalam meletakkan sendi-sendi kekuatan barisan tentara, hal ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh dari Pejuang sang Pangeran menetap,berada dan bahkan ketika perang usai dan meninggal mereka dikebumikan disini, dapatlah disebut Raden Gagak Handoko, Tumenggung Duk Jekso, Pangeran Koconegoro, Ki Ketidrono, kerabat Surokusumo dan masih banyak lagi, semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Loano tempo doeloe.
Diriwayatkan, Loano sebelum pecah Perang Diponegoro adalah sebuah wilayah otonom di bawah kendali Kasunanan Surakarta - hal ini konsekwensi dari perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi 2 bagian yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat berpusat di Solo- sekarang, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, karena pembagian yang disepakati dahulu berdasarkan cacah/penduduk bukan atas dasar teritori maka yang terjadi adalah kekacauan wilayah sebab bukan tidak mungkin daerah dekat Yogyakarta justru menjadi wilayah Surakarta atau sebaliknya - dan penguasa Loano saat itu adalah Trah dari Sri Susuhunan Pakubuwono II. Dari sekian penguasa wilayah ini yang paling populer disebutkan oleh warga masyarakat Loano hingga kini adalah Raden Gagak Handoko. 
Pada kisaran Tahun 1823 an, terjadilah krisis Politik di Kasultanan Yogyakarta yaitu terjadinya perebutan pengaruh antar kerabat Kerajaan.  Puncak dari keadaan itu adalah Keluarnya RM Ontowiryo dari Istana dan memimpin perlawanan terhadap Sultan yang notabene adalah keponakannya sendiri- sejarah mencatat sang Sultan terlalu dipengaruhi Belanda. Perlawanan demi perlawanan terus terjadi dan ini menggerogoti hampir seluruh wilayah kasultanan hingga merembet ke wilayah Kasunanan Surakarta yang mana di awal tulisan Loano disebut masuk wilayah Kasunanan. Di daerah ini Diponegoro mendapat dukungan dari penguasa Loano. Namun karena sang pangeran adalah kerabat Kasultanan sedang penguasa Loano merupakan bawahan dari kasunanan maka untuk mewujudkan dukungan itu Raden Gagak Handoko mempunyai cara dengan mencari tempat di wilayah Loano untuk pihak Pejuang Diponegoro dan pihak Pegagakan saling bertemu, maka dipilihlah sebuah tempat di ujung barat "kota Loano" di bagian gugusan Bukit Gunung Damar. Tempat ini dipilih karena jauh dari jangkauan pengawasan tentara Kasunanan yang dibantu Belanda juga karena masih termasuk wilayah Bukit Gunung Damar yang terkenal dengan daya magisnya waktu itu.
Sejak saat itu tempat tersebut dijadikan sebagai wahana pertemuan para pejuang Diponegoro dan Prajurit Pegagakan, oleh karena pihak pejuang Diponegoro dianggap tamu oleh pihak Loano maka tempat tersebut disebut "nggon jogotamu" artinya tempat untuk menunggu/ menyambut tamu. Dan dengan seiringnya perkembangan jaman tempat di kaki Bukit Gunung Damar itu disebut sebagai Jogotamu.

( Diarsipkan Oleh Erwan Wilodilogo, 03 Maret Duaribu empatbelas )

Minggu, 02 Maret 2014

ASAL USUL SEBUTAN DUSUN GEMBULAN

Pada cerita yang terdahulu, penulis telah kisahkan asal-usul nama Dusun Pongangan Desa Loano, kali ini penulis akan ceritakan asal kata gembulan pada Dusun Gembulan yang juga salah satu nama dusun di Desa Loano.
Cerita ini berawal dari masa perang Diponegoro, hal ini tak dapat dipungkiri, sejarah telah menuturkan bahwa zona merah dari babag Perang Djawa memang terjadi di daerah Bagelen ( Purworejo), Menoreh ( Magelang), Urut sewu (Wonosobo) dan Ledok ( gombong), salah satu daerah di Bagelen yang termasuk dalam medan pertempuran sengit adalah Loano-tapi jangan dibayangkan Loano dulu adalah Loano yang sekarang. Loano waktu itu masih berbentuk semi Kerajaan dan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya situs-situs peninggalan masa laloe di sini ( nanti di bagian tulisan yang lain akan dijelaskan satu persatu ).
Kembali ke pokok bahasan Gembulan.
Sepanjang sungai Bogowonto waktu itu adalah medan pertempuran yang efektif bagi pasukan Diponegoro yang melancarkan perang ala gerilya, ini didukung dengan topografi yang bergunung-gunung dan kelokan -kelokan sungai yang dijejali hutan. Kata yang punya cerita, dahulu Detasemen Pasukan Diponegoro yang berjuang di Bagelen Utara bermarkas di daerah Gunungwangi, sejiwan dan Loano, di wilayah Loano ini terdapat jalan Kolonial yang menghubungkan antara Bagelen dengan Menoreh ( Magelang ), jalan inilah yang memberikan suplai kemudahan bagi tentara Belanda untuk menopang tentara kasunanan Surakarta dalam menumpas gerakan pasukan Diponegoro, artinya bahwa jalan yang sekarang menjadi jalan Raya Magelang inilah yang dijadikan oleh kedua pihak kontra Diponegoro saling bahu-membahu menumpas pasukan sang Pangeran.
Sejarah telah mencatat Detasemen tangguh pendukung Diponegoro adalah Pasukan yang dibawah kendali Raden Gagak Handoko  penguasa wilayah Loano pada waktu itu, Pasukan Pegagakan demikan mereka menyebut detasemennya, mereka senantiasa berjuang dengan cara-cara yang mengejutkan ala siluman, sepanjang ruas Jalan Magelang telah mereka pasangi beberapa tempat untuk mengintai pada saat suplai kekuatan antara pasukan kasunanan Surakarta dengan pasukan jendral De-Kock berinteraksi ketika kedua pihak itu akan melakukan serangan ke wilayah Bagelen dari Magelang,nah pada waktu mereka melintas wilayah Loano, mereka akan mendapatkan sambutan sengit dari Pasukan Pegagakan. Pasukan Belanda dan Kasunanan dipastikan akan mengalami kebingungan ketika serangan siliuman itu muncul di daerah Loano.
Akhirnya karena seringnya Konsolidasi pasukan Kasunanan dan Belanda mengalami kekacauan jika melewati Loano maka pihak Belanda melalui kaki tangannya di Loano segera mencari informasi dimana sebenarnya pusat dari gerakan Pasukan Pegagakan itu memulai pengintaian, setelah beberapa waktu diadakan penyelidikan maka diketahuilah bahwa tempat yang digunakan oleh para pejuang Diponegoro dalam mengacau-balaukan pasukan musuh adalah suatu tempat di ujung sebuah pertemuan Sungai Bogowonto dengan sungai Kodil ( tempuran mas ), tempat itu berlembah-lembah, bergunung dan berhutan, akan tetapi hutan dimaksud bukanlah hutan lebat penuh pepohonan namun hutan yang dipenuhi oleh gerumbulan semak belukar, di sinilah Pejuang Diponegoro memulai aksinya.
Setelah diketahuinya tempat itu, maka pihak Pasukan Kasunanan memulai aksinya untuk melakukan patroli rutin di wilayah itu, dan oleh mereka disebutlah tempat tadi dengan "Wana grumbulan". Dan sejak saat itulah tempat strategis itu disebut grumbulan dan lambat laun kata-kata grumbulan dilafalkan menjadi Gembulan.
( Cerita ini disarikan dari beberapa sumber, dan terimakasih untuk Kadus Gembulan Bapak Marjani )
Diarsipkan Oleh Erwan Wilodilogo.
Loano, Tiga Maret Duaribu Empatbelas